Kamis, 28 Januari 2010

Lukmanul Hakim bersama Anak dan Keledainya

Alkisah, suatu hari, Lukmanul Hakim mendidik anaknya yang masih remaja pergi jauh membawa seekor keledai tanggung.
Di ujung kampung, penduduk mengkritik Lukman yang sama sekali tidak mengendarai keledai.

"Lukman, di mana-mana keledai ditunggangi, bukan cuma dituntun.
Anda ini bagaimana ?"
Lukman patuh. Dia menunggangi keledai itu, sementara anaknya menuntun. Di gerbang sebuah kampung, mereka dikritik kembali :
"Orang tua macam apa Anda ini, Lukman?" kata mereka.
"Masa orang tua naik keledai, sedangkan anaknya dibiarkan jalan kaki?"
Lukman tidak membantah, kali ini ia turun dan menyuruh anaknya naik keledai. Keduanya terus berjalan seperti itu, sampai mereka tiba di ujung kampung lainnya. Lagi-lagi, penduduk mencela :
" Semoga masuk neraka anak kurang ajar ini," teriak mereka.
" Beraninya dia naik keledai,
sementara ayahnya dibiarkan terlunta-lunta. "
Kali ini, anak Lukman mulai bingung. Dia merasa serba salah. Tetapi, akhirnya, dia mematuhi usul ayahnya agar mereka menunggangi keledai kurus itu bersama-sama. Sang keledai terlihat terhuyung-huyung ketika penduduk tiba-tiba menghadang perjalanan mereka, lalu berdemonstrasi.
" Kami belum tentu berakhlak baik, Lukman!" kata mereka..
" Tetapi, kami tidak sampai hati mengeroyok keledai kurus seperti ini.
Di mana perikemanusiaan Anda?"
Lukman dan anaknya buru-buru turun dari keledai itu, lalu minta maaf. Mereka kemudian menuntun keledai itu sekali lagi. Tapi, khawatir dicela seperti kejadian pertama, Lukman cepat-cepat menghentikan perjalanannya, lalu mengajak anaknya bermusyawarah.
" Terserah ayah saja. Saya bingung," kata anaknya.
" Kalau begitu, mari kita gendong keledai ini bersama-sama " perintah Lukman. Bapak dan anak itu kemudian menggotong keledai itu sampai ke rumah, biar pun sepanjang jalan masyarakat memaki-maki dan mengkritik mereka.
Dari kisah ini, Lukmanul Hakim ingin mengajarkan sesuatu hal kepada anaknya, bahwa apapun pilihan yang kita tentukan selalu akan menimbulkan kritik, protes dan cela. Oleh karena itu, janganlah mengambil pilihan karena untuk menyenangkan seluruh manusia. Yang penting, pilihan itu adalah sesuai dengan perintah Allah yang Maha Bijaksana dan sesuai dengan skala prioritas kebutuhan kita.

Link : http://www.komunitasbijak.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar