Senin, 26 Desember 2011

Tarbiyah dzatiyah

Tak ada makna bagi keberhasilan proses tarbiyah rasmiyah tanpa berkembangnya kemampuan seorang mutarabbi mengaktualisasikan dirinya bagi nukhbah (kadernya) yang dinamis, sensitif dan bijak ( hay, hassas, hakim).
Cermatilah qasha-shu’l haq, dari alqur’an maupun Al-Hadist, lihatlah kecemerlangan tarbiyah dzatiyah tokoh-tokoh sejarah. Sebaliknya, kegagalan tarbiyah dzatiyah pada ummat-ummat terdahulu, khususnya Bani Israil menjadi traffic light yang jelas, tak patut para pendatang berikutnya terjerumus kejurang yang sama.
Keberhasilan sistem tarbiyah membangun SDM telah menempatkan putera puterinya pada posisi yang dihormati (dan dicemburui). Tarbiyah adalah trade mark bagi produk unggulan sumber daya da’wah, tanpa memustahilkan wujudnya limbah produksi. Limbah itu dapat berbentuk sikap membanggakan status ’terdaftar” di masyarakat tarbiyah tanpa kemauan cukup untuk menyesuaikan dengan tuntutan tarbiyah. Dapat juga berbentuk sikap elitis yang sukar hadir dan berbaur di tengah masyarakat sesuai dengan prinsip “ yakhtalithun walakin yatamayyazun “.
Karena sesungguhnya attarbiah min khilali’l qudwah wa’n namadzij ( tarbiyah itu melalui keteladanan dan percontohan ) sudah teruji, maka sayang bila para pembaca Al-Qur’an dan Al-Hadist tak banyak mendapatkan manfaat dari keduanya.

Keluarga Nabi Ibrahim, AS.
Ketika ummu Ismail AS, tak berhasil mencari jawaban dari Nabi Ibrahim, as. – Mengapa sang suami tega meninggalkan mereka di lembah tak bertanaman, tanpa kerabat tanpa bekal kecuali sekantung makanan dan minuman yang hanya cukup untuk hari itu - ia mencoba pertanyaan lain dengan penyebut nama Allah yang mencairkan segala, yang beku, membuka segala bantu dan memudahkan segala yang mustahil.
  • “Allah-kah yang menyuruhmu meninggalkan kami disini ?” tany ummu Ismail. “Ya”, jawab Ibrahim. Ummu Ismail berkata : “Bila demikian, pastilah ia tak akan menyia-nyiakan kami”.


Pada saat yang paling kritis dan di lematis seperti itu ia mampu mengambil keputusan yang terbaik. Sangat manusiawi bila ia meminta berulang-ulang agar Allah melimpahkan bahan makanan. Akan tetapi, justru itu ia berdo’a, yang pertama agar keturunannya menegakkan sholat, kemudian agar sebagian umat manusia mencintai mereka dan barulah yang ketiga mereka meminta rezeki buah-buahan(QS.14:37). Ia pemimpin visioner:

Sesudah hidayah dan kesadaran adalah suatu upaya dan prestasi. Namun betapa bijaknya Ismail, a.s. ketika melihat ayahnya mengungkapkan
  • “ Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”, Ismail menjawab : ”lakukanlah apa yang di perintahkan kepada-mu, Insya Allah engkau akan temukan daku termasuk orang-orang yang sabar” (37:102)

Bahkan Ismail tak mengatakan : “ Aku akan bersabar “ ! Sangat berbeda dengan Yam bin Nuh, a.s. yang telah menyaksikan langit pecah menumpahkan air berderai-derai dan bumi telah membanjir bandang, paduannya ombak menggunung. Ternyata ia masih yakin dapat berlindung ke bukit dan enggan bergabung dengan ayahnya, dalam bahtera penyelamat. Pandangan khas materialisme dan tanda kegagalan tarbiyah dzatiyah

Nabi Yusuf, AS.
Pada saat sangat kritis di tengah paksaan isteri pembesar Mesir yang mengajaknya berbuat mesum ia menjawab (12:23). Ketika isteri pembesar Mesir memprovokasi suaminya untuk menjatuhkan hukuman yang berat atau memenjarakannya, ia mengajukan pembelaan yang sangat tegas dan “polos”
  • (“Dia yang merayu diriku”), hal yang di belakang hari di-ubahnya menjadi lebih dewasa dan elegan. Penderitaannya di penjara tidak membuatnya murung dan menyerah. Begitu “agresif” ia melancarkan da’wah kepada sesama narapidana, 12:29.
Ketika terbukti ta’wil yang di ajukannya atas mimpi temannya dan sang segera di pekerjakan kembali menjadi bar tender raja, ia berpesan dengan semangat (12:42)

Namun ketika raja memintanya datang ke istana karena kecemerlagan ta’wil mimpi itu, ia menyuruh sang utusan menanyakan kisah wanita- wanita yang mengiris jari mereka sendiri saat Yusuf melintas. Ia berhak atas rehabilitasi nama baiknya, tanpa harus melukai hati orang yang terlanjur silaf. Ia sadar sudah punya posisi tawar. Ia tak perlu lagi mengatakan “ Dia (isteri pembesar Mesir) yag merayu-ku”.

Apa yang susah bagi seorang sahabat di penjara yang menikmati santunan seorang sahabat yang terzalimi, menda’wahinya dan mena’wilkan mimpinya. Apa susahnya menyampaikan pesan “ Tolong sebut aku kepada tuanmu”. Tetapi sejak dulupun manusia bukan pemilik nasibnya sendiri, walaupun Tuhan menghargainya sebagai perubah nasib, pembangun dunia(QS. 13:11). Kalimat itu di perlupakan oleh syaithan, sehingga ia harus hidup bertahun-tahun lagi di penjara.

Para sahabat dan Tarbiyah Dzatiyah
Lembaran sejarah para sahabat melimpahkan bukti – bukti keberhasilan tarbiyah dzatiyah. Di saat banyak anak – anak bangsa menjadi kolaborator asing dan membenamkan negeri mereka ke kancah kehinaan , Ka’b bin Malik menjadi “original real simple” bagi kesetiaan, kesabaran, dan kerendahan hati. Ia tidak tergiur oleh surat rayuan Raja Ghassan yang menawarkan suaka politik :
  • “kudengar bosmu memboikotmu, padahal tak pernah engkau di (perlakukan) hina. Berangkatlah kepadaku, nanti aku santuni (muliakan) engkau.


Dengan cepat dibakarnya surat itu ke tungku :” inilah dia bala’ yang sebenarnya”. Melihat kesungguhan Abu Rabi’ membantu urusan hariannya, Rasulullah, SAW. menawarkan apa kiranya yang diinginkannya. “As-aluka murafaqata-kafi’l jannah” ( aku meminta untuk tetap dapat menemanimu di dalam surga), pinta Abu Rabi’.
  • “Nah, bantulah aku untuk dapat menolongmu, dengan banyak bersujud “, jawab Rasulullah, SAW.


Ia menuntut sesuatu yang jauh di atas nilai-nilai bumi dan sang murrabi menyirakan jalan sejati menuju kebahagiaan sejati, suatu ungkapan yang bernuansa tarbiyah dzatiyah.

Kegagalan Tarbiyah Dzatiyah
Beberapa episode perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa, a.s. Mengajarkan kita betapa pentingnya tarbiyah dzatiyah. Mereka mengetahui kedatangan Nabi Musa, a.s. Untuk misi penyelamatan. Apapun yang mereka alami, kemenangan adalah suatu kepastian. Namun mereka gagal (QS.7:128-129)

Tenggelamnya Fir’aun di laut dan selamatnya mereka dari Fir’aun, tak menyisakan setitikpun keraguan untuk memasuki Bumi Suci yang di janjikan (5:20). Namun peristiwa tersebut terjadi tanpa kekuasaan Allah, sehingga mereka lebih memandang tubuh besar para Amalek ( raksasa ) yang menduduki Kota Suci dari pada jaminan kemenangan mutlak dari Allah.

Sesungguhnya berita tenggelamnya Fir’aun yang ‘perkasa’ adalah kegemparan besar yang mampu membuat siapapun lari tunggang langgang menghadapi pengikut Nabi Musa, a.s. Namun ungkapan degil khas yang mereka ucapkan.
Karenanya mereka di kutuk. Berputar – putar di padang Tih, 40 tahun tak dapat memasuki Kota Suci yang di janjikan. Allah masih memberi mereka sebuah perlindungan berupa awan yang menaungi mereka dari sengatan terik matahari dan makanan instan manna dan salwa. Namun baru beberapa saat mereka sudah protes (2:61)

Perhatikanlah bahasa apa yang yang mereka gunakan dihadapan nabi mereka?
  • ..... Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami ::..
Sebagian besar masyarakat kita meminta dishalatkan jenazah keluarga mereka dan mereka menonton dari luar, tidak sholat fardlu dan tidak pula sholat jenazah!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar